Minggu, 29 Januari 2017

puncak becici - yogyakarta


Tiket
Gratis
Parkir motor
Rp 3.000
Parkir mobil
Rp 10.000
Buka setiap hari
Saat YogYES memacu kendaraan ke arah selatan Jogja, sengatan matahari masih terasa membakar kulit meskipun posisinya mulai bergeser ke arah barat. Setelah memasuki kawasan Desa Muntuk, barulah kegarangannya mulai tergantikan dengan teduh dan sejuknya udara perbukitan. Pemandangan lahan-lahan terasering yang kemudian berlanjut dengan deretan pohon-pohon pinus menemani sisa perjalanan YogYES ke tempat tujuan hingga kami mendapat sambutan berupa gapura selamat datang. Tak jauh dari gapura, beberapa gubuk sederhana tampak memenuhi salah satu bahu jalan, berderet rapi berdampingan. Di gubuk-gubuk sederhana itulah warga setempat menjamu para pengunjung kawasan wisata Puncak Pinus Becici dengan minuman dan makanan ringan yang dijual.
Roda-roda kendaraan kami masih melaju hingga ujung jalan bersemen, tempat kendaraan-kendaraan pengunjung lain diparkir. Selanjutnya kami masih harus berjalan melalui jalan setapak masuk ke dalam bagian hutan pinus yang lebih rapat. Menurut salah satu anggota pokdarwis setempat, hutan pinus yang dikenal sebagai daerah Hutan Sudimoro 1 atau Becici Asri ini masih merupakan bagian dari Hutan Lindung di bawah pengelolaan RPH Mangunan. Berbeda dengan Hutan Pinus Mangunan yang lebih dulu populer sebagai kawasan wisata, Becici Asri awalnya hanya dikelola sebagai hutan produksi penghasil getah pinus untuk bahan dasar terpentin dan gondorukem. Namun panorama dari bukit di bagian baratlah yang membuat orang-orang berdatangan untuk menikmati keindahannya hingga kawasan ini pun berubah menjadi destinasi wisata.
Nama Becici yang terdengar asing di telinga pun sebenarnya memiliki cerita sejarah tersendiri. Becici berasal dari gabungan kata "ambeg" yang berarti berdiam diri dan kata suci, dua kata yang merujuk pada cerita turun temurun kepercayaan masyarakat setempat. Cerita tentang putra pendiri Desa Muntuk yang bertapa di bukit di bagian barat hutan pinus dan kemudian ingin disemayamkan di bukit yang sama ketika meninggal dunia. Terlepas dari benar tidaknya cerita tutur ini, di puncak Bukit Becici memang ditemukan sebuah petilasan menyerupai makam.
Suara daun pinus yang bergesekan diterpa angin menjadi melodi alam yang menemani perjalanan kami menembus hutan pinus. Hanya perlu waktu sekitar lima belas menit dari parkiran untuk mencapai puncak Bukit Becici. Tak hanya barisan pohon-pohon pinus tinggi menjulang, kami juga menemui bangku-bangku dari batang pinus, ayunan kayu, beberapa gazebo sederhana dan gardu pandang dengan pengamanan ala kadarnya di sepanjang tepi jalan setapak. Terdapat pula area datar yang lumayan luas untuk bermain serta camping ground dengan jarak pohon pinus yang tak terlalu rapat. Semakin dekat dengan puncak bukit, jarak pohon-pohon pinus ini pun semakin renggang. Hingga matahari yang tadinya terhalang daun-daun pinus pun kembali menampakkan diri, semakin condong ke arah barat namun masih bersinar penuh semangat. Menyilaukan setiap mata yang mencoba menatapnya.
Puncak Becici memang spot yang tepat untuk menikmati saat-saat matahari terbenam karena bukit ini menghadap ke arah barat. Tak heran ketika kami tiba di puncak, sudah banyak orang yang menunggu momen-momen pergantian siang menuju malam. Ada yang terlihat asik berfoto di atas gardu pandang. Beberapa lainnya tampak berfoto di tepi tebing dekat dengan pagar besi pengaman. Sementara ada pula yang terlihat duduk-duduk di gazebo dan bangku-bangku dari kayu pinus yang tumbang. Mungkin menunggu giliran untuk berpose di atas gardu pandang. Sebuah ayunan tak berpenghuni pun menjadi pilihan saya untuk menikmati landscape yang disuguhkan sambil menunggu kesempatan menaiki gardu pandang.
Matahari semakin rendah ketika tiba giliran saya mencoba menaiki gardu pandang. Dengan ekstra hati-hati karena tak ada perlengkapan semacam tali pengaman, saya akhirnya bisa duduk di atas papan yang dibangun pada sebatang pohon pinus ini. Ada sensasi menggelitik ketika tempat yang saya pijak ini sedikit bergoyang diterpa angin. Namun tak ingin menyia-nyiakan waktu menunggu giliran yang lumayan panjang, saya mencoba melawan rasa takut dengan bertahan sedikit lebih lama duduk di atas gardu pandang hingga langit semakin gelap dan matahari pun mulai menyelimuti dirinya dengan awan-awan lembut di batas cakrawala. Tak ingin buru-buru beranjak, kami menunggu hingga langit benar-benar gelap, menunggu hingga bintang-bintang imitasi mulai bermunculan dan berpendar cantik mengisi bidang-bidang gelap di bawah kami.





sumber  :   https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/nature-and-outdoor/puncak-becici/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar